Jumat, 05 September 2008

Serosis Hepatitis

  1. Pengertian

Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).


  1. Etiologi

Ada 3 tipe sirosis atau pembentukan parut dalam hati :

  1. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.

  2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.

  3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).

Bagian hati yang terlibat terdiri atas ruang portal dan periportal tempat kanalikulus biliaris dari masing-masing lobulus hati bergabung untuk membentuk saluran empedu baru. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan jaringan yang berlebihan terutama terdiri atas saluran empedu yang baru dan tidak berhubungan yang dikelilingi oleh jaringan parut.


  1. Manifestasi Klinis

Penyakit ini mencakup gejala ikterus dan febris yang intermiten.

Pembesaran hati. Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler).

Obstruksi Portal dan Asites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.

Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.

Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau temoroid tergantung pada lokasinya.

Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.

Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.

Defisiensi Vitamin dan Anemia. Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yan tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.

Kemunduran Mental. Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.




  1. Patofisiologi

Konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada individu yang dietnya normal tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.

Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomiastis dua kali lebih banyak daripada wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 – 60 tahun.

Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut yang melampaui jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal dari bagian-bagian yang berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas.

Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insidus dan perjalanan penyakit yang sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun/lebih.


  1. Proses Keperawatan Pada Pasien Sirosis Hepatis

  • Pengkajian

Pengkajian keperawatan berfokuskan pada awitan gejala dan riwayat faktor-faktor pencetus, khususnya penyalahgunaan alkohol dalam jangka waktu yang lama disamping asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani penderita. Pola penggunaan alkohol yang sekarang dan pada masa lampau (durasi dan jumlahnya) dikaji serta dicatat. Yang juga harus dicatat adalah riwayat kontak dengan zat-zat toksik di tempat kerja atau selama melakukan aktivitas rekreasi. Pajanan dengan obat-obat yang potensial bersifat hepatotoksik atau dengan obat-obat anestesi umum dicatat dan dilaporkan.

Status mental dikaji melalui anamnesis dan interaksi lain dengan pasien; orientasi terhadap orang, tempat dan waktu harus diperhatikan. Kemampuan pasien untuk melaksanakan pekerjaan atau kegiatan rumah tangga memberikan informasi tentang status jasmani dan rohani. Di samping itu, hubungan pasien dengan keluarga, sahabat dan teman sekerja dapat memberikan petunjuk tentang kehilangan kemampuan yang terjadi sekunder akibat meteorismus (kembung), perdarahan gastrointestinal, memar dan perubahan berat badan perlu diperhatikan.

Status nutrisi yang merupakan indikator penting pada sirosis dikaji melalui penimbangan berat yang dilakukan setiap hari, pemeriksaan antropometrik dan pemantauan protein plasma, transferin, serta kadar kreatinin.


Intervensi Keperawatan

Rasional

Hasil yang diharapkan

Diagnosa Keperawatan : intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.

Tujuan : peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas.

    1. Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).

    2. Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)

    3. Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat



    1. Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap

  1. Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.

  2. Memberikan nutrien tambahan.

  3. Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.

  4. Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri

  • Melaporkan peningkatan kekuatan dan kesehatan pasien.

  • Merencanakan aktivitas untuk memberikan kesempatan istirahat yang cukup.

  • Meningkatkan aktivitas dan latihan bersamaan dengan bertambahnya kekuatan.

  • Memperlihatkan asupan nutrien yang adekuat dan menghilangkan alkohol dari diet.

Diagnosa keperawatan : perubahan suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis.

Tujuan : pemeliharaan suhu tubuh yang normal.

    1. Catat suhu tubuh secara teratur.


    1. Motivasi asupan cairan





    1. Lakukan kompres dingin atau kantong es untuk menurunkan kenaikan suhu tubuh.


    1. Berikan antibiotik seperti yang diresepkan.



    1. Hindari kontak dengan infeksi.



    1. Jaga agar pasien dapat beristirahat sementara suhu tubuhnya tinggi.

  1. Memberikan dasar untuk deteksi hati dan evaluasi intervensi.

  2. Memperbaiki kehilangan cairan akibat perspirasi serta febris dan meningkatkan tingkat kenyamanan pasien.

  3. Menurunkan panas melalui proses konduksi serta evaporasi, dan meningkatkan tingkat kenyaman pasien.

  4. Meningkatkan konsentrasi antibiotik serum yang tepat untuk mengatasi infeksi.

  5. Meminimalkan resiko peningkatan infeksi, suhu tubuh serta laju metabolik.

  6. Mengurangi laju metabolik.

  • Melaporkan suhu tubuh yang normal dan tidak terdapatnya gejala menggigil atau perspirasi.

  • Memperlihatkan asupan cairan yang adekuat.

Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan pembentukan edema.

Tujuan : memperbaiki integritas kulit dan proteksi jaringan yang mengalami edema.

  1. Batasi natrium seperti yang diresepkan.

  2. Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.



  1. Balik dan ubah posisi pasien dengan sering.



  1. Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.

  2. Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus.

  3. Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya.

  1. Meminimalkan pembentukan edema.

  2. Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.

  3. Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.

  4. Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.

  5. Meningkatkan mobilisasi edema.

  6. Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar.

  • Memperlihatkan turgor kulit yang normal pada ekstremitas dan batang tubun.

  • Tidak memperlihatkan luka pada kulit.

  • Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa gejala eritema, perubahan warna atau peningkatan suhu di daerah tonjolan tulang.

  • Mengubah posisi dengan sering.

Diagnosa keperawatan : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus dan status imunologi yang terganggu.

Tujuan : Memperbaiki integritas kulit dan meminimalkan iritasi kulit.

  1. Observasi dan catat derajat ikterus pada kulit dan sklera.

  2. Lakukan perawatan yang sering pada kulit, mandi tanpa menggunakan sabun dan melakukan masase dengan losion pelembut (emolien).

  3. Jaga agar kuku pasien selalu pendek.

  1. Memberikan dasar untuk deteksi perubahan dan evaluasi intervensi.

  2. Mencegah kekeringan kulit dan meminimalkan pruritus.

  3. Mencegah ekskoriasi kulit akibat garukan.

  • Memperlihatkan kulit yang utuh tanpa terlihat luka atau infeksi.

  • Melaporkan tidak adanya pruritus.

  • Memperlihatkan pengurangan gejala ikterus pada kulit dan sklera.

  • Menggunakan emolien dan menghindari pemakaian sabun dalam menjaga higiene sehari-hari.

Diagnosa keperawatan : Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.

Tujuan : Perbaikan status nutrisi.

  1. Motivasi pasien untuk makan makanan dan suplemen makanan.

  2. Tawarkan makan makanan dengan porsi sedikit tapi sering.

  3. Hidangkan makanan yang menimbulkan selera dan menarik dalam penyajiannya.

  4. Pantang alkohol.

  5. Pelihara higiene oral sebelum makan.

  6. Pasang ice collar untuk mengatasi mual.

  7. Berikan obat yang diresepkan untuk mengatasi mual, muntah, diare atau konstipasi.

  8. Motivasi peningkatan asupan cairan dan latihan jika pasien melaporkan konstipasi.

  9. Amati gejala yang membuktikan adanya perdarahan gastrointestinal.

  1. Motivasi sangat penting bagi penderita anoreksia dan gangguan gastrointestinal.

  2. Makanan dengan porsi kecil dan sering lebih ditolerir oleh penderita anoreksia.

  3. Meningkatkan selera makan dan rasa sehat.

  4. Menghilangkan makanan dengan “kalori kosong” dan menghindari iritasi lambung oleh alkohol.

  5. Mengurangi citarasa yang tidak enak dan merangsang selera makan.

  6. Dapat mengurangi frekuensi mual.

  7. Mengurangi gejala gastrointestinal dan perasaan tidak enak pada perut yang mengurangi selera makan dan keinginan terhadap makanan.

  8. Meningkatkan pola defekasi yang normal dan mengurangi rasa tidakenak serta distensi pada abdomen.


  1. Mendeteksi komplikasi gastrointestinal yang serius.

  • Memperlihatkan asupan makanan yang tinggi kalori, tinggi protein dengan jumlah memadai.

  • Mengenali makanan dan minuman yang bergizi dan diperbolehkan dalam diet.

  • Bertambah berat tanpa memperlihatkan penambahan edema dan pembentukan asites.

  • Mengenali dasar pemikiran mengapa pasien harus makan sedikit-sedikit tapi sering.

  • Melaporkan peningkatan selera makan dan rasa sehat.

  • Menyisihkan alkohol dari dalam diet.

  • Turut serta dalam upaya memelihara higiene oral sebelum makan dan menghadapi mual.

  • Menggunakna obat kelainan gastrointestinal seperti yang diresepkan.

  • Melaporkan fungsi gastrointestinal yang normal dengan defekasi yang teratur.

  • Mengenali gejala yang dapat dilaporkan: melena, pendarahan yang nyata.

Diagnosa keperawatan : Resiko cedera berhubungan dengan hipertensi portal, perubahan mekanisme pembekuan dan gangguan dalam proses detoksifikasi obat.

Tujuan : Pengurangan resiko cedera.

  1. Amati setiap feses yang dieksresikan untuk memeriksa warna, konsistensi dan jumlahnya.

  2. Waspadai gejala ansietas, rasa penuh pada epigastrium, kelemahan dan kegelisahan.

  3. Periksa setiap feses dan muntahan untuk mendeteksi darah yang tersembunyi.

  4. Amati manifestasi hemoragi: ekimosis, epitaksis, petekie dan perdarahan gusi.

  5. Catat tanda-tanda vital dengan interval waktu tertentu.

  6. Jaga agar pasien tenang dan membatasi aktivitasnya.

  7. Bantu dokter dalam memasang kateter untuk tamponade balon esofagus.

  8. Lakukan observasi selama transfusi darah dilaksanakan.

  9. Ukur dan catat sifat, waktu serta jumlah muntahan.

  10. Pertahankan pasien dalam keadaan puasa jika diperlukan.

  11. Berikan vitamin K seperti yang diresepkan.

  12. Dampingi pasien secara terus menerus selama episode perdarahan.

  13. Tawarkan minuman dingin lewat mulut ketika perdarahan teratasi (bila diinstruksikan).

  14. Lakukan tindakan untuk mencegah trauma :

    1. Mempertahankan lingkungan yang aman.

    2. Mendorong pasien untuk membuang ingus secara perlahan-lahan.

    3. Menyediakan sikat gigi yang lunak dan menghindari penggunaan tusuk gigi.

    4. Mendorong konsumsi makanan dengan kandungan vitamin C yang tinggi.

    5. Melakukan kompres dingin jika diperlukan.

    6. Mencatat lokasi tempat perdarahan.

    7. Menggunakan jarum kecil ketika melakukan penyuntikan.

  1. Berikan obat dengan hati-hati; pantau efek samping pemberian obat.

  1. Memungkinkan deteksi perdarahan dalam traktus gastrointestinal.

  2. Dapat menunjukkan tanda-tanda dini perdarahan dan syok.

  3. Mendeteksi tanda dini yang membuktikan adanya perdarahan.

  4. Menunjukkan perubahan pada mekanisme pembekuan darah.

  5. Memberikan dasar dan bukti adanya hipovolemia dan syok.

  6. Meminimalkan resiko perdarahan dan mengejan.

  7. Memudahkan insersi kateter kontraumatik untuk mengatasi perdarahan dengan segera pada pasien yang cemas dan melawan.

  8. Memungkinkan deteksi reaksi transfusi (resiko ini akan meningkat dengan pelaksanaan lebih dari satu kali transfusi yang diperlukan untuk mengatasi perdarahan aktif dari varises esofagus)

  9. Membantu mengevaluasi taraf perdarahan dan kehilangan darah.

  10. Mengurangi resiko aspirasi isi lambung dan meminimalkan resiko trauma lebih lanjut pada esofagus dan lambung.

  11. Meningkatkan pembekuan dengan memberikan vitamin larut lemak yang diperlukan untuk mekanisme pembekuan darah.

  12. Menenangkan pasien yang merasa cemas dan memungkinkan pemantauan serta deteksi terhadap kebutuhan pasien selanjutnya.

  13. Mengurangi resiko perdarahan lebih lanjut dengan meningkatkan vasokontriksi pembuluh darah esofagus dan lambung.

  14. Meningkatkan keamanan pasien.

  1. Mengurangi resiko trauma dan perdarahan dengan menghindari cedera, terjatuh, terpotong, dll.

  2. Mengurangi resiko epistaksis sekunder akibat trauma dan penurunan pembekuan darah.

  3. Mencegah trauma pada mukosa oral sementara higiene oral yang baik ditingkatkan.

  4. Meningkatkan proses penyembuhan.

  5. Mengurangi perdarahan ke dalam jaringan dengan meningkatkan vasokontriksi lokal.

  6. Memungkinkan deteksi tempat perdarahan yang baru dan pemantauan tempat perdarahan sebelumnya.

  7. Meminimalkan perambesan dan kehilangan darah akibat penyuntikan yang berkali-kali.

  1. Mengurangi resiko efek samping yang terjadi sekunder karena ketidakmampuan hati yang rusak untuk melakukan detoksifikasi (memetabolisasi) obat secara normal.



  • Tidak memperlihatkan adanya perdarahan yang nyata dari traktus gastrointestinal.

  • Tidak memperlihatkan adanya kegelisahan, rasa penuh pada epigastrium dan indikator lain yang menunjukkan hemoragi serta syok.

  • Memperlihatkan hasil pemeriksaan yang negatif untuk perdarahan tersembunyi gastrointestinal.

  • Bebas dari daerah-daerah yang mengalami ekimosis atau pembentukan hematom.

  • Memperlihatkan tanda-tanda vital yang normal.

  • Mempertahankan istirahat dalam keadaan tenang ketika terjadi perdarahan aktif.

  • Mengenali rasional untuk melakukan transfusi darah dan tindakan guna mengatasi perdarahan.

  • Melakukan tindakan untuk mencegah trauma (misalnya, menggunakan sikat gigi yang lunak, membuang ingus secara perlahan-lahan, menghindari terbentur serta terjatuh, menghindari mengejan pada saat defekasi).

  • Tidak mengalami efek samping pemberian obat.

  • Menggunakan semua obat seperti yang diresepkan.

  • Mengenali rasional untuk melakukan tindakan penjagaan dengan menggunakan semua obat.

Diagnosa keperawatan : Nyeri dan gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hati yang membesar serta nyeri tekan dan asites.

Tujuan : Peningkatan rasa kenyamanan.

  1. Pertahankan tirah baring ketika pasien mengalami gangguan rasa nyaman pada abdomen.

  2. Berikan antipasmodik dan sedatif seperti yang diresepkan.

  3. Kurangi asupan natrium dan cairan jika diinstruksikan.

  1. Mengurangi kebutuhan metabolik dan melindungi hati.

  2. Mengurangi iritabilitas traktus gastrointestinal dan nyeri serta gangguan rasa nyaman pada abdomen.

  3. Memberikan dasar untuk mendeteksi lebih lanjut kemunduran keadaan pasien dan untuk mengevaluasi intervensi.

  4. Meminimalkan pembentukan asites lebih lanjut.

  • Mempertahankan tirah baring dan mengurangi aktivitas ketika nyeri terasa.

  • Menggunakan antipasmodik dan sedatif sesuai indikasi dan resep yang diberikan.

  • Melaporkan pengurangan rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman pada abdomen.

  • Melaporkan rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman jika terasa.

  • Mengurangi asupan natrium dan cairan sesuai kebutuhan hingga tingkat yang diinstruksikan untuk mengatasi asites.

  • Merasakan pengurangan rasa nyeri.

  • Memperlihatkan pengurangan rasa nyeri.

  • Memperlihatkan pengurangan lingkar perut dan perubahan berat badan yang sesuai.

Diagnosa keperawatan : Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan pembentukan edema.

Tujuan : Pemulihan kepada volume cairan yang normal.

  1. Batasi asupan natrium dan cairan jika diinstruksikan.

  2. Berikan diuretik, suplemen kalium dan protein seperti yang dipreskripsikan.

  3. Catat asupan dan haluaran cairan.

  4. Ukur dan catat lingkar perut setiap hari.

  5. Jelaskan rasional pembatasan natrium dan cairan.

  1. Meminimalkan pembentukan asites dan edema.

  2. Meningkatkan ekskresi cairan lewat ginjal dan mempertahankan keseimbangan cairan serta elektrolit yang normal.

  3. Menilai efektivitas terapi dan kecukupan asupan cairan.

  4. Memantau perubahan pada pembentukan asites dan penumpukan cairan.

  5. Meningkatkan pemahaman dan kerjasama pasien dalam menjalani dan melaksanakan pembatasan cairan.

  • Mengikuti diet rendah natrium dan pembatasan cairan seperti yang diinstruksikan.

  • Menggunakan diuretik, suplemen kalium dan protein sesuai indikasi tanpa mengalami efek samping.

  • Memperlihatkan peningkatan haluaran urine.

  • Memperlihatkan pengecilan lingkar perut.

  • Mengidentifikasi rasional pembatasan natrium dan cairan.

Diagnosa keperawatan : Perubahan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran fungsi hati dan peningkatan kadar amonia.

Tujuan : Perbaikan status mental.

  1. Batasi protein makanan seperti yang diresepkan.

  2. Berikan makanan sumber karbohidrat dalam porsi kecil tapi sering.

  3. Berikan perlindungan terhadap infeksi.

  4. Pertahankan lingkungan agar tetap hangat dan bebas dari angin.

  5. Pasang bantalan pada penghalang di samping tempat tidur.

  6. Batasi pengunjung.

  7. Lakukan pengawasan keperawatan yang cermat untuk memastikan keamanan pasien.

  8. Hindari pemakaian preparat opiat dan barbiturat.

  9. Bangunkan dengan interval.

  1. Mengurangi sumber amonia (makanan sumber protein).

  2. Meningkatkan asupan karbohidrat yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan energi dan “mempertahankan” protein terhadap proses pemecahannya untuk menghasilkan tenaga.

  3. Memperkecil resiko terjadinya peningkatan kebutuhan metabolik lebih lanjut.

  4. Meminimalkan gejala menggigil karena akan meningkatkan kebutuhan metabolik.

  5. Memberikan perlindungan kepada pasien jika terjadi koma hepatik dan serangan kejang.

  6. Meminimalkan aktivitas pasien dan kebutuhan metaboliknya.

  7. Melakukan pemantauan ketat terhadap gejala yang baru terjadi dan meminimalkan trauma pada pasien yang mengalami gejala konfusi.

  8. Mencegah penyamaran gejala koma hepatik dan mencegah overdosis obat yang terjadi sekunder akibat penurunan kemampuan hati yang rusak untuk memetabolisme preparat narkotik dan barbiturat.

  9. Memberikan stimulasi kepada pasien dan kesempatan untuk mengamati tingkat kesadaran pasien.

  • Memperlihatkan perbaikan status mental.

  • Memperlihatkan kadar amonia serum dalam batas-batas yang normal.

  • Memiliki orientasi terhadap waktu, tempat dan orang.

  • Melaporkan pola tidur yang normal.

  • Menunjukkan perhatian terhadap kejadian dan aktivitas di lingkungannya.

  • Memperlihatkan rentang perhatian yang normal.

  • Mengikuti dan turut serta dalam percakapan secara tepat.

  • Melaporkan kontinensia fekal dan urin.

  • Tidak mengalami kejang.

Diagnosa keperawatan : Pola napas yang tidak efektif berhubungan dengan asites dan restriksi pengembangan toraks akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks.

Tujuan : Perbaikan status pernapasan.

  1. Tinggalkan bagian kepala tempat tidur.

  2. Hemat tenaga pasien.

  3. Ubah posisi dengan interval.

  4. Bantu pasien dalam menjalani parasentesis atau torakosentesis.

    1. Berikan dukungan dan pertahankan posisi selama menjalani prosedur.

    2. Mencatat jumlah dan sifat cairan yang diaspirasi.

    3. Melakukan observasi terhadap bukti terjadinya batuk, peningkatan dispnu atau frekuensi denyut nadi.

  1. Mengurangi tekanan abdominal pada diafragma dan memungkinkan pengembangan toraks dan ekspansi paru yang maksimal.

  2. Mengurangi kebutuhan metabolik dan oksigen pasien.

  3. Meningkatkan ekspansi (pengembangan) dan oksigenasi pada semua bagian paru).

  4. Parasentesis dan torakosentesis (yang dilakukan untuk mengeluarkan cairan dari rongga toraks) merupakan tindakan yang menakutkan bagi pasien. Bantu pasien agar bekerja sama dalam menjalani prosedur ini dengan meminimalkan resiko dan gangguan rasa nyaman.

    1. Menghasilkan catatan tentang cairan yang dikeluarkan dan indikasi keterbatasan pengembangan paru oleh cairan.

    2. Menunjukkan iritasi rongga pleura dan bukti adanya gangguan fungsi respirasi oleh pneumotoraks atau hemotoraks (penumpukan udara atau darah dalam rongga pleura).

  • Mengalami perbaikan status pernapasan.

  • Melaporkan pengurangan gejala sesak napas.

  • Melaporkan peningkatan tenaga dan rasa sehat.

  • Memperlihatkan frekuensi respirasi yang normal (12-18/menit) tanpa terdengarnya suara pernapasan tambahan.

  • Memperlihatkan pengembangan toraks yang penuh tanpa gejala pernapasan dangkal.

  • Memperlihatkan gas darah yang normal.

  • Tidak mengalami gejala konfusi atau sianosis.


DAFTAR PUSTAKA


Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).


Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999). Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).


Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.


Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.


Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.

Tidak ada komentar: